Laman

Minggu, 20 Januari 2013

PPEJ KLH Bantu Rp. 92,8 Juta kepada Bank Sampah ASRI

Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa ( PPEJ ) Kementrian Lingkungan Hidup RI atas nama Pemerintah Pusat memberikan berbagai macam bantuan untuk mendukung operasional bank sampah Asri di kampung Banjar Asri Kelurahan Nglorog Kecamatan Sragen, sebesar Rp. 92,8 juta. SRAGEN – Beberapa waktu lalu warga kampung Banjarasri kelurahan Nglorog Kecamatan Sragen mendapat apresiasi positif dari pemerintah Pusat dalam kegigihannya mengelola bank sampah di kampungnya . Keberadaan bank sampah yang dikelola masyarakat tersebut dinilai sangat membantu program pemerintah serta mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan sampah yang semakin hari semakin bertambah volumenya. Bantuan Pemerintah pusat melalui PPEJ KLH senilai Rp. 92,8 Juta tersebut terdiri dari : Komposter 100 buah, Drum pemilah sampah 30 buah, Gerobag sampah 2 unit, mesin jahit 3 buah, kantong / karung pemilah sampah, alat pelubang biopori, alat penutup biopori, timbangan meja, timbangan gantung, printer laser, rak lemari display, rak data, meja dan kursi. Bantuan diterima Kepala badan Lingkungan kabupaten Sragen, Marija, ST, MT untuk selanjutnya diserahkan kepada Direktur Bank. Sampah Asri.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Sragen, Marija, ST, MT dalam sambutannya mengatakan, keberadaan Bank Sampah yang dikelola warga masyarakat, seperti Bank Sampah Asri tersebut, sangat membantu mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan sampah. Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam mengolah sampah, volume sampah yang dibuang ke TPA Tanggan mejadi berkurang. “ Semakin banyak sampah yang dioalah masyarakat, semakin mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA Tanggan “ jelasnya. Lebih lanjut Marija berharap, kader-kader pengelola sampah di Banjarasri yang telah memperoleh pelatihan, agar menularkan ilmunya pada warga di kampung lain, sehingga di Sragen ini semakin banyak kader kader pengelola sampah yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan sampah Disatu sisi perwakilan PPEJ Kementrian LH, Yoga Kuntara SH mengatakan, bantuan alat-alat pengelola sampah tersebut jangan di lihat dari nilanya, namun pandanglah dari segi manfaatnya. Karena Bantuan senilai itu tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan kesadaran dan kepedulian warga masyarakat untuk memberdayakan sampah, sehingga lebih bermanfaat bermanfaat bagi lingkungan. Dengan adanya bantuan tersebut perwakilan PPEJ Kementrian LH, Yoga Kuntara SH mengharap mampu menambah semangat para kader Bank sampah ASRI dalam mengelola sampah di wilayahnya. “ Kami mohon peralatan tersebut dimanfaatkan semaksisimal mungkin untuk membantu operasional bank sampah Asri “ kata Yoga. Disamping itu, Pihak Pemerintah pusat membuka pintu selebar-lebarnya bagi warga atau kader bank sampah untuk konsultasi bila menemukan kesulitan atau kendala dalam pengelolaan sampah. (jik)

Miliaran Rupiah Anggaran PPID 2012 Masih di Endapkan, APBD 2013 Sragen Disyahkan Lebih Awal

Meskipun APBD Sragen 2013 sudah disahkan Bulan Nonember 2012 yang lalu, Namun Realiasi APBD 2012 yang bernilai miliaran rupiah masih diendapkan alias banyak yang belum tuntas ( rampung ) di realisasikan, semisal Anggaran Program Pembangunan Infrastruktur Daerah, khusunya Peningkatan Jalan dan Jembatan yang diperuntukkan 208 Desa banyak yang belum di serahkan ke Panitia Pembangunan Desa sebagai pengguna Anggaran. SRAGEN - Pelaksanaan APBD Kabupaten Sragen tahun 2012 masih ada yang belum rampung, salah satunya adalah Program Pembangunan Infrastruktur Daerah ( PPID ) Khususnya untuk Bantuan pembangunan jalan dan jembatan untuk 208 Desa yang tersebar di Kabupaten Sragen, masih banyak yang belum dikucurkan kepanitia desa- desa penerima program. Informasi yang ditrima Media ini menyebutkan, dari 208 Desa yang terebar di kabupaten Sragen ada satu desa yang tidak mengambil Anggaran PPID, sehingga penerima Bantuan untuk Peningkatan jalan dan jembatan di Seluruh desa berkurang menjadi 207 Desa/Kelurahan. Hasil Ivestigasi Wartawn Media ini (14 /01/13 ) di beberapa desa dan Kecamatan di Sragen,banyak menemukan keluhan dari Para Panitia Pembangunan Desa, lantaran pekerjaan sudah final , anggaran baru terealisasi 20% alias untuk termin pertama sekitar Rp.10.000.000. Seperti disalah satu Desa wilayah Kecamatan Gesi , Baru turun Rp.10.000.000 dari besaran bantuan Rp.50.000.000 sementara pekerjaan fisik sudah 100% rampung.
Hal yang sama juga terjadi di Desa wilayah Kecamatan Plupuh, Sidoarjo, Ngrampal, Sambung Macan, sedangkan untuk Desa di Kecamatan Jenar sudah terealisasi Rp.10.000.000 dan Rp.20.000.000, disusul Desa di Kecamatan Tangen juga baru direalisasi Rp.30.000.000. Sedangkan yang sudah direalisasi 100% adalah Kecamatan Gondang, Masaran meskipun ada 2 desa yang belumdirealisasi, dan Sambirejo. Salah satu Kepala Desa kepada Radar Pos mengatakan, saat ini Panitia Pembangunan di desanya mengalami kesulitan dan didesak pemilik toko material, lantaran untuk merampungkan pekerjaan pembangunan Jalan dan jembatan tersebut masih BB ( Belum Bayar red ). “ Panitia di desa kami saat ini kebingungan mencari dana talangan untuk membayar Bon Material di took, karena bantuan dari APBD pos PPID sebesar Rp. 50.000.000 baru terealisasi 20 %, sementara pekerjaan sudah rampung, bahkan lokasi proyek sudah dicek dari instansi Kabupaten terkait “ Ujarnya. Senada dengan Panitia di atas, Desa di wilayah Kecamatan Ngrampal, dan Tangen , menurutnya Panitia mayoritas sudah mrampungkan pekerjaan fisiknya, tinggal menunggu turunnya rekom untuk bisa mencairkan dana tersebut. “ Pekerjaan mayoritas sudah rampung 100%, namun Anggarannya yang sampai saat ini belum turun, lha ini ada apa dan Mengapa, kok sampai belum turun, ? padahal aturan turun/realisasi dana secara bertahap, termin 1 20%, termin 2 40%, dan stselah rampung turun dana 40% nya, sementara Panitia Desa kami baru menerima 20% atau Rp.10.000.000 .
Masih menurut sumber yang sama, adanya pencairan anggaran PPID masuk ke desanya tersendat menurut analisanya duit sejumlah 10.350.000.000, diendapkan di Salah satu Bank, agar bisa memperoleh fee/jasa, bisa jadi di deposito kan . “ Kemungkinan Dana PID itu didepositokan ke salah satu bank dalam waktu beberapa bulan/1 tahun kanu untung/fee nya kan limayan “ Imbuhnya. Berbeda dengan Kades Betek Sidoarjo, Hadi Suwito, menurutnya Bantuan pembangunan/peningkatan jalan dan jembatan di desanya sebesar Rp.50.000.000, sebagai tambahan saja sebab lanjut Kades yang mantan aktifis LSM PERSEPSI itu, desanya dengan swadaya membangun Jalan dan jembatan dalam tahun 2012 menghabiskan anggaran 250.000.000. Namun demikian kata Hadi Swito, pihaknya tidak kebingungan atau kelabakan, meskipun anggaran yang ia terima baru 20% atau senilai Rp.10.000.000. “ Untuk membangun Desa Betek Tahun Anggaran 2012 menghabiskan Rp.250.000.000; belum termasuk tenaganya, itu murni swadaya” Imbuhnya. (jik)
Paciatn, SR: Proses usulan, pembahasan dan penetapan 7 Raperda (5 Prolegda + 2 tambahan Perda) dari eksekutif yang telah ditetapkan menjadi Perda pada sidang Paripurna DPRD Kab. Pacitan pada hari Jum’at (27/9-2012) lalu, masih menyisakan beberpa pertanyaan. Setidaknya, itu dinyataakan oleh salah satu “vokalis” DPRD Pacitan yang berasal dari Komisi C, Heri Bahtiar. ”Saya belum bisa memahami penetapan 5 Prolegda dan 2 Perda susulan itu. Sebab, secara normative itu berkategori resiko tinggi alias high risk,” tambah legislator dari PKS dengan penampilan eksentrik itu.
Lebih jauh, Bahtiar, sapaan akrab bapak dengan empat orang anak ini, memapaarkan beberapa argument pokok pikiran. “Pertama, secara Administratif Prosedural, Proses pengusulan dan tahapan pembahasan 2 dari 7 Raperda atau 2 Raperda tambahan tersebut telah melampaui norma seperti diatur dalam Tatib DPRD jo PP no 16 tahun 2010 serta Permendagri 53 tahun 2011. Kedua, secara Substantif direktur PD Aneka Usaha sendiri, dalam RDP dengan Pansus I menyatakan keberatan terhadaap pemindahan nomenklatur dari “Modal Dasar” (pos Hibah) menjadi “Penyertaan Modal” (Belanja Langsung?.” Masih menurut Bahtiar, data tambahan yang muncul dalam Rapat Dengar Pendapat adalah, DPPKA tidak berhasil meyakinkan PANSUS dengan argument yang valid tentang kondisi atau situasi yang menjadi prasrat diperbolehkannya sebuah kebijakan reklasifikasi/adjustment akuntasni yang di benarkan menurut Undang-Undang. Secara ekonomis, terjadi ineffisiensi dan inefektifitas penganggaran pada TA sebelum terjadinya reklasifikasi/adjustment sehingga dana Rp.500.000.000,- sampai 1 M kurang mengenai sasaran yang tepat (out come). Posisi yang harus senantiasa diingat, DPRD, disamping sebagai entitas politik, adalah juga sebagai entitas hukum. “Maka mempertimbangkan beberapa argument tersebut di atas, dalam kapasitas sebagai anggota DPRD, kami sampai pada posisi sesudah penetapan Perda tersebut, masih memperdalam anaalisis hukum (legal opinion) terhadap 2 Raperda dimaksud dan belum bisa memahami penetapan tersebut,” pungkasnya.

Mancing di puncak gunung

Memancing biasanya di lakukan di pinggir sungai atau di pinggir lautan, namun bagaimana jika memancing di lakukan di puncak bukit seperti yang ada di kecamatan Bandar beikut. Di kecamatan Bandar terutama di desa petungsinarang terdapat kegiatan masyarakat yang cukup unik yaitu memancing di puncak bukit, namun tentu saja yang di pancing bukan ikan mujaer ataupun ika lele, melainkan burung walet laut yang suka melintas di pucak bukit pada waktu-waktu tertentu. Tidak seperti memancing ikan pada umumnya yang dapat di lakukan setiap saat, setiap hari di sepanjang musim, memancing sriti (sebutan untuk burung walet)hanya dapat di lakukan setahun sekali. Setiap awal musim penghujan tiba, yaitu pada saat laron keluar dari persembunyiannya, saat itulah waktu yang paling tepat untuk memancing sriti. Memang harus pada musim awal penghujan karena umpan satu-satunya yang dapat di gunakan untuk memancing hanyalah laron, itupun laron yang masih dapat terbang dengan tinggi.
Cara memancing sriti ini pun berbeda jauh dengan memancing ikan di kali pada umumnya, selain membutuhan alat yang khusus, juga harus mempunyai keahlian yang khusus pula. Para pemancing harus menggunakan jorang yang panjang berupa bambu wuluh karena bambu ini mempunyai tinggi sekitar 50meter, dan semakin tinggi jorang yang di gunakan, maka semakin bagus pula kesempatan untuk mendapatkan tangkapan. Selain bambu wuluh, pemancing juga harus mempersiapkan senar sepanjang jorang dan kail pancing yang paling kecil, karena umpan yang di gunakan adalah laron hidup yang harus terbang membawa pancing. Pemancing walet/sriti ketika sampai di tempat pemancingan pun tidak serta merta dapat langsung memancing, mereka harus menunggu kawanan Sriti yang terbang melewati tempat pemancingan mereka. Ketika kawanan walet menghampiri, barulah para pemancing mempersiapkan umpan berupa laron yang di kaitkan dengan mata pancing dan di terbangkan setinggi mungkin. Dari sinilah keterampilan, kejelian dan kesabaran betul-betul di uji. Betapa tidak, hembusan angin yang tidak bersahabat dapat mebunuh laron (yang di gunakan sebagai umpan), dan otomatis sriti tidak mau memakannya, dan harus di ganti dengan laron yang baru yang masih benar-benar sehat. Ketika umpan di sambar, pemancing harus sabar menunggu sriti lelah memberontak dan turun dengan sendirinya, karena jika di paksa senar pancing bisa putus dengan mudah. Ketika sriti sudah di dapatkan, kedua sayapnya diikat dan mulai melepaskan umpan yang baru. Jika cuaca mendukung dan umpan cukup bagus, maka pemancing yang sudah mahir bisa mendapatkan 20-30 ekor sriti stiap harinya, namun bagi pemula 4 ekor burung sehari sudah termasuk beruntung. Dalam sehari pemancing hanya dapat memancing di waktu pagi dan sore, itupun tak selalu ada burung yang lewat di depan pemancingan. Oleh sebab itulah tidak banyak yang menekuni hobi unik dan langka ini, karena tidak mempunyai banyak waktu luang dan kesabaran. Namun jika ingin menikmati daging burung walet yang terkenal gurih dan citarasa yang khas, mereka bisa membeli kepada pemancing yang mendapatkan banyak tangkapan. Biasanya pemancing yang mendapat tangkapan lebih dari 10 ekor, mereka menjual sebagian tangkapanya kepada penduduk yang membeli. 1 ekor burug walet biasanya di hargai 2ribu-3ribu rupiah per ekor, dan itu termasuk harga yang murah sekali karena tidak sebanding dengan jerih payah dan waktu yang harus di korbankan.

Mensos berjiwa Sosial

Menterisosial RI, SalimSegaf Al Djufri pada hari selasa (13-11-2012), mengunjungikampung SBY dalamacara “bedahkampung”. Dalamkegiatanbedah kampung tersebut, MenSosmemberikanbantuankepada pemerintah daerah sebanyakRp 3 miliaruntukRS-RTLH(RehabilitasiSosialRumahTidakLayakHuni)Pedesaan, Rp 620 jutauntukkelompokusahabersama, sarana lingkungan sebesar Rp 180 jutadansantunanuntukanakyatimpiatuyaitu Rp 13.720.000.
Dalam kunjungan kerja kali ini, Mensos tidak menginap di hotel berbintang lima ataupun penginapan yang layak untuk sekelas Menteri, melainkan memilih menginap di rumah salah seorang warga setempat di Desa Kemuning. Mensosmenginap di rumah Pak KatmindanBuZaitunyaitu di DusunKrajan (Rt. 17/5) dengan tidur di atasdipankayu, sedangkanparastafyag lain tidur di lantai tanahberalaskarpet. Menurut Mensos, menginap di hotel berbintang dan makan di restaurant mewah hanya menghambur-hamburkan uang Negara yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat. Menteri yang berangkat dari PKS ini juga menegaskan, para Pejabat tinggi Negara perlu menyatu dengan rakyat agar mengerti dan merasakan apa yang di rasakan oleh rakyat, salah satunya adalah tidur di mana mereka biasa tidur, dan makan apa yang biasanya mereka makan. ”...di sini bintangnya lebih banyak, tidak hanya lima” Ujar Mensos sambil menunjuk ke langit, maksudnya adalah membandingkan antara hotel berbintang lima dengan tempat Mensos menginap kali ini. Bukan hanya fasilitas yang sederhana yang di sediakan di sini (di Desa Kemuning), makanan ringan atau snack yang di suguhkan untuk pak Menteri juga sederhana. Di meja depan tempat duduk Pak Menteri Sosial ini tidak tersaji aneka makanan olahan pabrik atau aneka roti yang biasa di suguhkan kepada beliau, melainkan hanya beberapa potong ubi rebus, enthik (talas), pisang kukus dan kacang. Namun tidak membuat Pak Menteri protes kepada Ruslan (kepala desa Kemuning), justru beliau berterimakasih kepada pemerintah Desa yang turut membantu mensukseskan kegiatan ini. Pagi harinya, usai sarapan bersama antara Pak Menteri, Bupati Pacitan dan Anggota Muspida yang lain, beliau bersama-sama mengunjungi rumah Mbah Pujud (75) yang Cacat fisik. Dengan jalan kaki sekitar 1 km, Pak Menteri di sambut oleh anak-anak SD yang sudah berjajar rapi di pinggir jalan sambil mengibarkan bendera plastik merah putih. Sesampainya di rumah Mbah Pujud Pak menteri memberikan bantuan dan paket sembako dan berharap agar keluarga tersebut dapat mandiri.

Dugaan pelanggaran pasal 242,

Jum’at (9/11) kemarin, Moh. Saptono nugroho melaporkan Drs. HM. Asyar Subandy MBA, MSC. Atas dugaan pelanggaran pasal 242 dan atau 311 KUHP. Saptono merasa di rugikan atas dugaan kesaksian palsu yang di lakukan oleh terlapor Drs. Asyhar Subady MBA, MSC. Dengan dugaan kesaksin palsu tersebut, pelapor yaitu Saptono harus menjalani hukuman selama satu (satu) tahun 2 (dua) bulan, dan juga mengalami kerugian materiil maupun inmateriil. Kasus ini bermula dari laporan Drs. HM. Asyhar Subandy ke kejaksaan negeri atas kasus dugaan korupsi APBD tahun 2001 oleh anggota DPRD di kabupaten Pacitan dengan nomer perkara 39/PID.B/2005/PN PCT. Pada tanggal 8 nopember 2001 pelapor (asyar subandy) melakukan demo kepada DPRD dan melakukan pemaksaan kepada pimpinan DPRD untuk melakukan penandatanganan perjanjian bersama John Ahmadi dan Miswadi. Dari hasil demo tersebut, kejaksaan Negeri telah menindaklanjutinya dengan mengeluarkan surat dengan nomor R-92/0.5.38/Dek.3/06/2003 tertanggal 12 juni 2003 yang di tandatangani oleh kepala kejaksaan Negeri Pacitan yang saat itu di jabat oleh Nyoman Suwito, SH. dan juga telah di jawab oleh Gubernur Jawa Timur dengan nomor surat 188/5598/013/2003.
Setelah itu, dengan adanya isu nasional dan kunjungan SBY Tentang pemberantasan korupsi, Asyhar Subandy memanfaatkan kesempatan ini dengan melakukan aksi dan desakan kepada kejaksaan Negeri sebagaimana keterangan yang di lakukan di depan pengadilan pada tahun 2004. Dalam aksinya, Asyhar Subandy mendesak kepada kejaksaan Negeri Pacitan untuk segera menindaklanjuti kasus dugaan korupsi APBD 2001 yang di lakukan oleh anggota DPRD kabupaten Pacitan dan melakukan laporan kepada kejaksaan negeri Pacitan sebagaimana yang telah di rilis oleh PERS pada tanggal 6 Nopeber 2012 yang di tuturkan oleh pelapor. Dari laporan tersebut, Saptono ahkirnya menjalani sidang di pengadilan Negeri Pacitan yang di ketuai Sutarto K S SH, MH dan hakim anggota I Riyanto aloysius, SH dan hakim anggota II Muh Djauhar Setyadi, SH. dalam sidang kali ini, Asyhar Subandhy melakukan kesaksianya di bawah sumpah agama yang menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan penyimpangan berdasarkan pp 110 tahun 2000 dan anggota DPRD telah melakukan bagi-bagi keuangan dan telah menyimpang perda no. 17 tahun 2000. Asyhar Subandhy juga bersaksi bahwa kebiasaan sehari-hari anggota DPRD berubah setelah menerima dana APBD pos DPRD dan sekwan kabupaten Pacitan tahun 2001. Juga, biasanya jarang belanja ke toko/shoping sekarang(setelah menerima dana APBD) sering belanja ke luar kota. Menurut Saptono, dengan kesaksian palsu yang di lakukan oleh Asyhar Subandy menyebabkan jaksa dan hakim salah di dalam mengambil keputusan, dengan bukti pihaknya telah di nyatakan bersalah oleh pengadilan negeri Pacitan, pengadilan tinggi Surabaya dan mahkamah agung pada tingkat kasasi. Dan dengan kesaksian palsu tersebut jaksa menganggap bahwa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi telah terpenuhi.(red.)
APBD Pacitan 2013 Kurang Pro Rakyat Soeratan, Pacitan; Setelah melalui pembahasan marathon hampir satu bulan, RAPBD 2013 akhirnya ditetapkan untuk menjadi Perda dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Pacitan, Jum’at (29/30). Beberapa tahaapan krusial berhasl dilalui pada berbagai jenjang pentahapan aejak dari musrnbengdes, musrenbangda, reses dan RKA SKPD. Naskah Perda itu sendiri sebetulnya sudah diserahkan eksekutif beberapa bulan sebelumnya, yang didahului dengan penetapan Kebijakan Umum Anggaran Sementara. Dua hal terakhir menimbulkan discours (wacana) di kalangan para wakil rakyat yang lumayan menguras energy. Postur APBD Pacitan 2013 sendiri direncanakan hampir mendekati angka 1 Trilliun, tepatnya Rp.983.229.363.137,00 dengan jumlah pendapatan Rp.949.879.849.433,00. Dari sejumlah total pendapatan itu Belanja yang dikeluarkan di tahun yang sama sekitar Rp.974.152.363.137,00 yang berarti telah terjadi perencanaa deficit (tekor) Rp.27.272.513.704,00. Pendapatan Asli Daerah Pacitan sejumlah itu, direncanakan berasal dari Pajak Daerah sebesar Rp6.767.000.000,- dan Retribusi Daerah Rp.16.094.627.800,00. Ditambah Pengelolaan kekayaan Daerah yang telah dipisahkan sebesar Rp.5.654.400.000,00 serta Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah sejumlah Rp.28.654.701.294,00. Dalam perspektif kebjakan penganggaran, sesungguhnya masyarakat “hanya” berhak mengharapkan akses pembangunan pada belanja langsung yang meliputi belanja modal, serta belanja barang dan jasa. Dari sejumlah hampir 1 trilliun tersebut, masyarakat hanya memperoleh hak berupa akses belannja pembangunan berupa belanja modal sebesar Rp. 107.770.585.667,00 serta belanja barang dan jasa sebesar Rp. 117.630.307.065,00 Situasi itu menyebabkan keprihatianan beberapa pihak termasuk kalangan LSM, tokoh masyarakat dan juga anggota legislator sendiri. “Belanja modal serta belanja barang dan jasa itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan seluruh APBD 2013 kita. Ini bukan APBD yang pro rakya,” kata Adit Satria, penggiat LSM AMPuH. “Jika dihitung sekaligus dengan biaya pelaksaan (belanja pegawai pada belanja langsung) total masyarakat hanya menerima sekitar 36,5% dan APBD. Seibarat orang mau kulakan gula merah, harganya 33,5 rupiah, masak ongkos transportnya mencapai 66,5 rupiah. Sangat tidak adil dan mendzalimi rakyat,” katanya penuh geregetan setengah berteriak. Heri Bahtiar, legislator PKS yang dikenal berlatar belakang aktifis pro rakyat, menengarai kebijakan penganggaran APBD terssebut sangat ironis. “Semestinya, kita semua sebagai mengencangkan ikat Pinggang demi hari esok Pacitan yang lebih baik dan sejahtera. Hal ini harus didukung dengan kebijakan penganggaran yang betul-betul pro rakyat denngan cara member porsi kepada belanja modal, barang dan jasa yang lebih proporsional. Bukan sebaliknya, malah menggelembungkan belanja tidak langsung terutama pada belanja pegawai yang menelan anggaran sebesar Rp.613.694.650.516,00 Belanja pegawai yang “hanya” untuk menggerakkan mesin birokrasi itu sebenarnya sangat bisa dipangkas jika kita memiliki keinginan politik yang kuat. Pada kenyataannya, pelayanan untuk masyarakat juga belum maksimal dan optimal. Filosofi birokrasi “ramping dan efektif serta efisien” masih sangat mungkin diciptakan, manakala kita semua bersepakat untuk memperbaiki Pacitan kedepan supaya lebih bermartabat. Disamping itu, turunnya dana insentif opini BPK wajar tanpa pengecualian (WTP) sebesar 30 M menjadi hanya 2 M juga membuat performa APBD 2013 terganggu. Sementara, ssecara teknis penulisan bukunya juga relative “bermasalah”. Dari beberapa jalinan situasi itu, rapat Gabungan Komisi DPRD pada hari Rabu, (26/11) memberikan catatan tentang dana pendamping untuk pembangunan dam thukul di Kecamatan arjosari sebesar 5 milliar yang harus diamankan. Baik untuk pelaksanaannya maupun untuk dana pokok pembangunannya itu sendiri yang direncanakan dari pemerintah pusat. Penuntasan dana lingkar Kecamatan dan tiap link juga menjadi perhatian banyak fraksi dan komisi. Penyusunan SRDTR kawasan khusus di Pantai untuk menjadi perhatian bersama, hal ini dikarenakan kemajuan Kabupaten Pacitan yang sudah dawali dengan berbagai proyek besar seperti JLS, PLTU, terminal type A stadion, monument Pangsud diharapkan menjadi modal dan daya tarik investor yang akan menanamkan modalnya di Pacitan. Secara teknis penyusuna buku APBD 2013 mempunyai beberapa kesalahan teknis menadar. Beberapa lembar lampiran disusulkan pada saat pembahasan. “Terlebih, pada beberapa pos pendapatan belum dicantuman dasar hukumnya, sementara di kegiatan belanja belum disebutkan lokasi kegiatan serta target hasil (out put) serta target keluaran (out come)nya”, demikian drs. Parabowo, ketua Komisi C DPRD Kabupate Pacitan memberikan catatannya. “Harap diingat, disamping diawasi para penengak keadilan di dunia, para pengambil kebijakan itu juga harus mempertanggungjawabkan kebijakannya kelak d padang mahsyar. Jangan sampai kawula alit yang hak-haknya belum terbayarkan itu meminta pertanggungjawaban dengan cara mereka sendiri,” pungkas satria.
Pacitan, 24 September Musim kemarau melanda beberapa daerah di seluruh nusantara, termasuk beberapa daerah di kabupaten Pacitan, khususnya di desa kami yaitu Petungsinarang. Musim kemarau yang berkepanjangan kali ini tidak saja membuat resah para petani yang ingin menggarap sawahnya, tetapi juga berimbas pada penduduk yang jauh dari aliran air sungai maupun sumber air bersih, karena air adalah kebutuhan pokok sehari-hari yang harus terpenuhi. Musim kemarau saat ini, yaitu tahun 2012, yang masanya lebih dari 6 bulan, menorehkan cerita tersendiri bagi daerah tandus di daerah petungsinarang dan sekitarnya. Mulai dari adri kisah antrean jerigen pada waktu tarawih, hingga loper banyu. Musim kemarau saat ini, yang kebetulan melewati bulan suci romadhon yang seharusnya penuh berkah, malah menjadikan kekhusukan ibadah sebagian warga terganggu. Bagaimana tidak, pada waktu malam hari bulan romadhon yang seharusnya menyibukkan diri dengan tarawih atau tadarus alQur’an di mushola, malah harus berduyun-duyun menuju sumber air. Mereka memilih mencari sumber air pada malam hari karena menghindari sengatan panasnya matahari saat siang hari, dan air yang di dapat pada malam hari lebih jernih daripada yang di peroleh siang hari karena pada waktu siang sebagian warga mencuci pakaian di belik tersebut. Belik, atau semacam sumur kecil untuk menampung air dari subernya, yang ada di daerah Petungsinarang semakin lama smakin sedikit, karena setiap musim kemarau tiba sumber air di belik tersebut lambat laun mengecil dan akhirnya mongering. Di desa Petungsinarang, ada sekitar 2 belik (sumber air) yang tidak mongering di musim kemarau, namun karena banyaknya warga yang mengambil air dari sumber tersebut, setiap warga yang ingin mengambil air dari sumur tersebut harus menunggu sekitar 1 sampai 2 jam. Bagi warga yang tidak ingin mengantri hendaknya mengambil air pada malam atau dini hari, karena pada waktu-waktu tersebut sebagian warga lelap tertidur, dan air di di belik tersebut juga penuh. Mereka yang mempunyai kendaraan seperti sepeda motor atau mobil biasanya memilih mengambil air dari aliran sungai di Kebondalem Arjosari. Namun karena airnya sedikit keruh, mereka tidak menggunakan air tersebut untuk kebutuhan dapur, melainkan hanya untuk mandi atau mencuci. Namun bagi warga yang tidak mempunyai waktu luang untuk mengantri air, atau terlalu sibuk denga pekejaannya mereka bisa membeli air dari warga yang khusus menjual jasa dan waktu berupa air. Dengan merogoh saku 3000 (tiga ribu) rupiah, warga bisa mendapatkan satu jergen air bersih 20liter, dan di antar sampai tempat. Bisnis loper air makin lama makin banyak, karena mencari pekerjaan biasa semakin sulit, dan kegiatan ini bisa di jadikan sebagai kegiatan sampingan.
Paciatn, SR: Proses usulan, pembahasan dan penetapan 7 Raperda (5 Prolegda + 2 tambahan Perda) dari eksekutif yang telah ditetapkan menjadi Perda pada sidang Paripurna DPRD Kab. Pacitan pada hari Jum’at (27/9-2012) lalu, masih menyisakan beberpa pertanyaan. Setidaknya, itu dinyataakan oleh salah satu “vokalis” DPRD Pacitan yang berasal dari Komisi C, Heri Bahtiar. ”Saya belum bisa memahami penetapan 5 Prolegda dan 2 Perda susulan itu. Sebab, secara normative itu berkategori resiko tinggi alias high risk,” tambah legislator dari PKS dengan penampilan eksentrik itu. Lebih jauh, Bahtiar, sapaan akrab bapak dengan empat orang anak ini, memapaarkan beberapa argument pokok pikiran. “Pertama, secara Administratif Prosedural, Proses pengusulan dan tahapan pembahasan 2 dari 7 Raperda atau 2 Raperda tambahan tersebut telah melampaui norma seperti diatur dalam Tatib DPRD jo PP no 16 tahun 2010 serta Permendagri 53 tahun 2011. Kedua, secara Substantif direktur PD Aneka Usaha sendiri, dalam RDP dengan Pansus I menyatakan keberatan terhadaap pemindahan nomenklatur dari “Modal Dasar” (pos Hibah) menjadi “Penyertaan Modal” (Belanja Langsung?.” Masih menurut Bahtiar, data tambahan yang muncul dalam Rapat Dengar Pendapat adalah, DPPKA tidak berhasil meyakinkan PANSUS dengan argument yang valid tentang kondisi atau situasi yang menjadi prasrat diperbolehkannya sebuah kebijakan reklasifikasi/adjustment akuntasni yang di benarkan menurut Undang-Undang. Secara ekonomis, terjadi ineffisiensi dan inefektifitas penganggaran pada TA sebelum terjadinya reklasifikasi/adjustment sehingga dana Rp.500.000.000,- sampai 1 M kurang mengenai sasaran yang tepat (out come). Posisi yang harus senantiasa diingat, DPRD, disamping sebagai entitas politik, adalah juga sebagai entitas hukum. “Maka mempertimbangkan beberapa argument tersebut di atas, dalam kapasitas sebagai anggota DPRD, kami sampai pada posisi sesudah penetapan Perda tersebut, masih memperdalam anaalisis hukum (legal opinion) terhadap 2 Raperda dimaksud dan belum bisa memahami penetapan tersebut,” pungkasnya.